[Bahasa translation below]

President Widodo is planning to address the Australian parliament on February 10. He is trying to conceal the reality in West Papua from the world. Whilst he prepares to tell lies to Australian parliamentarians, dozens of West Papuans are facing years, even decades, in prison. Their crime is to have peacefully raised their voices against 57 years of Indonesian racism and colonialism during the unprecedented West Papua Uprising of August-September 2019. The world must intervene to stop this Indonesian attempt to wipe out the internal leadership of the people of West Papua.

In Java, the Jakarta Six are being charged with ‘rebellion’, facing 15 years or more in prison. Their crime is to have peacefully raised the Morning Star flag in front of the Presidential Palace on August 28, 2019.

In East Kalimantan, seven kidnapped West Papuans are being held by the Indonesian State hundreds of miles from their families and legal counsel. Their health is getting worse and worse. For their crime of speaking out for truth, justice and freedom, Indonesia is attempting to isolate, starve and murder them. They must be immediately moved back to West Papua and released.

The West Papua Uprising was sparked by Indonesian police and militias attacking a Papuan student dormitory in Surabaya. The students were called ‘monkeys’, told to ‘go home’, tear gassed and arrested.

Of the hundreds of Indonesians involved in the racist attack, only one has been convicted. His sentence was just five months. Five months for helping cause a mass conflict that led to the deaths of dozens of people. Five months in prison for a racist attack, whilst those Papuans who demonstrated against the attack face 15 to 20 years in prison. This is the face of justice in democratic Indonesia.

As these farcical trials take place, Indonesian military operations continue to destroy people’s lives in Nduga, Intan Jaya and Puntac Jaya. Hundreds have been killed and tens of thousands displaced. Some West Papuans face a life-time in refugee camps across the border in PNG. The 16,000 additional troops Indonesia deployed during the Uprising are still there, and more are being added every week. West Papua is being turned into a war zone by Indonesia.

Indonesia is trying to intimidate and harass the West Papuan people into silence through military power. Every street corner in West Papua now contains a military checkpoint, a police base, an intelligence section. Church leaders are being intimidated, Papuans arrested inside their churches: last December, Papuans could not even enjoy and celebrate Christmas and New Year.

This is why the ULMWP and 79 countries in Africa, the Caribbean and Pacific (ACP) are calling for the UN High Commissioner for Human Rights to be allowed in to West Papua. If Indonesia is the vibrant, democratic country it claims, why does it bar the UN from visiting?

The Indonesian State must immediately release all political prisoners, and allow those in East Kalimantan to return home. Indonesia must allow the UN High Commissioner to visit and reveal the truth about what is happening there. Above all else, Indonesia must allow the people of West Papua to freely and peacefully exercise their right to self-determination by holding a referendum on independence.

The world must not be conned by President Widodo’s words. He has shown no willingness to address the root causes of the conflict in West Papua, as called for by 18 countries in the Pacific Islands Forum and 79 countries in the ACP. He is pretending to be the good guy whilst he allows the Indonesian State to carry out genocide against my people.

The colonisation of West Papua is the dark heart of Indonesia, eating away at its democratic institutions. Indonesia will destroy itself and any chance of being a democratic and prosperous nation if it does not let the people of West Papua go free.

Benny Wenda
Chairman
ULMWP


Ketua ULMWP: Jokowi berkunjung di Australia, sedangkan pembunuhan dan penangkapan di Papua Barat terus meningkat

Presiden Jokowi berencana untuk berpidato di depan parlemen Australia pada tanggal 10 Februari. Dia sedang berusaha untuk menutup-nutupi realita lapangan di Papua Barat dari seluruh dunia. Selagi dia menyiapkan pidatonya, puluhan orang Papua sedang berada dipenjara, menghadapi vonis puluhan tahun. Kesalahan mereka adalah menyuarakan opini mereka menentang 57 tahun penjajahan dan rasisme Indonesia dengan cara damai, di saat bangkitnya rakyat Papua Barat pada bulan Agustus-September 2019. Dunia harus melakukan intervensi untuk menghentikan usaha Indonesia yang ingin menghabisi seluruh jajaran pemimpin rakyat Papua Barat.

Di Jawa, “Jakarta Six” dituntut karena melakukan ‘makar,’ dan berpotensi divonis penjara lebih dari 15 tahun. Apa kesalahan mereka? Menaikkan bendera Bintang Kejora di depan Istana Keperesidenan pada tanggal 28 Agustus 2019.

Di Kalimantan Timur, tujuh orang Papua Barat diculik dan ditahan oleh pemerintah Indonesia, jauh dari keluarga dan tim hukum mereka. Kesehatan mereka terus memburuk. Karena mereka menyuarakan kebenaran, keadilan dan kemerdekaan, Indonesia sekarang terus berusaha mengisolasi dan membunuh mereka. Mereka harus dikembalikan ke Papua Barat secepatnya, dan dilepas dari tahanan.

Kebangkitan rakyat Papua Barat tahun kemarin diawali oleh tindakan polisi dan ormas-ormas Indonesia yang menyerang asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Para mahasiswa dimaki sebagai ‘monyet,’ disuruh ‘pulang,’ kemudian dilempari gas air mata dan ditangkap.

Dari ratusan orang Indonesia yang terlibat dalam serangan rasis ini, baru satu yang melalui proses pengadilan. Diapun hanya divonis penjara 5 bulan! 5 bulan di dalam penjara, sebagai ganjaran karena telah menyebabkan konflik berkepanjangan yang berujung di matinya puluhan orang. 5 bulan di dalam penjara untuk serangan yang rasis, sedangkan rakyat Papua yang berdemonstrasi menentang dan mengutuk serangan ini malah menghadapi 15 sampai 20 tahun penjara! Inilah realita hukum di Indonesia yang katanya demokratis.

Selagi pengadilan bak lelucon ini berlangsung, operasi militer Indonesia terus menghancurkan kehidupan rakyat Papua di Nduga, Intan Jaya dan Puncak Jaya. Ratusan orang tewas, dan puluhan ribu terpaksa meninggalkan rumah mereka. Sebagian rakyat Papua Barat sekarang harus hidup di kamp-kamp pengungsian di Papua Nugini. 16000 prajurit tambahan yang dikirim oleh Indonesia tahun kemarin terus berada di sana, dan jumlah mereka bertambah setiap minggunya. Papua Barat sudah dijadikan zona perang oleh Indonesia.

Indonesia terus berupaya mengintimidasi rakyat Papua Barat dengan kekuatan militer, agar mereka diam dan tidak mengatakan kebenaran yang mereka hadapi. Di tiap pojok jalan di Papua Barat sekarang ada posko militer, pos polisi, dan pangkalan intel. Pemimpin gereja pun diintimidasi, dan jemaat bahkan ditangkap di dalam gereja mereka. Desember lalu, rakyat Papua tidak bisa menikmati Natal dan Tahun Baru.

Inilah alasan mengapa ULMWP dan 79 negara di Afrika, Karibia dan kawasan Pasifik (ACP) menyerukan agar Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia dapat diperbolehkan untuk mengunjungi Papua Barat. Bila memang, seperti klaim pemerintah, bahwa Indonesia adalah negara demokratis dan berbhinneka, kenapa pemerintah melarang PBB untuk datang?

Pemerintah Indonesia harus membebaskan semua tahanan politik secepatnya, dan memperbolehkan yang berada di Kalimantan Timur untuk pulang. Indonesia harus memperbolehkan Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mengunjungi Papua dan melihat dengan matanya sendiri apa yang terjadi di sana. Lebih penting lagi, Indonesia harus memperbolehkan rakyat Papua memakai hak asasi mereka untuk menentukan nasib sendiri melalui suatu referendum tentang kemerdekaan.

Dunia tidak boleh dibohongi oleh kata-kata Preside Jokowi. Dia sama sekali belum menunjukkan keinginan untuk mengatasi akar dari permasalahan yang menyebabkan konflik di Papua Barat, seperti yang sudah diserukan oleh 18 negara di Pacific Islands Forum dan 79 negara di ACP. Dia berpura-pura menjadi ‘orang baik,’ sedangkan dia membiarkan pemerintahan Indonesia melakukan genosida terhadap saudara-saudaraku, rakyat Papua Barat.

Penjajahan Papua Barat adalah akar pahit Indonesia, yang terus memakan dan mendiskreditkan demokrasinya. Indonesia akan menghancurkan dirinya sendiri dan tidak akan menjadi suatu negara yang demokratis dan sejahtera bila dia tidak membiarkan rakyat Papua Barat merdeka.

Benny Wenda
Ketua ULMWP