[Bahasa translation below]

This week is incredibly important for the people of West Papua’s collective memory. At the end of the week, we will commemorate the 58th anniversary of our country being signed away to Indonesia, and mark a year since the West Papua Uprising, sparked by racist attacks from Indonesian security services. Instead of celebrating Indonesian Independence Day, August 15-17 must be days of mourning and reflection for all West Papuans.

On August 15, 1962, secret negotiations between Indonesia, the Netherlands and the United States governments decided the fate of my people. No West Papuans were consulted, and the referendum promised to us in the 1962 New York Agreement never took place. To us West Papuans, the New York Agreement is an agreement of broken promises.

This is the root cause of our suffering, the root cause of 500,000 of us losing our lives at hand of Indonesia. The entire population of West Papua is united to reject the New York Agreement and Indonesia’s illegal occupation and colonisation of our land.

We will express that rejection by refusing to participate in Indonesia’s Independence Day celebration on August 17. We don’t recognise Indonesian Independence Day in West Papua – our land is not Indonesia, and this is not our independence day. We still await our true independence day when we finally regain our right to freely determine our own political future.

Instead, we will stay at home and mourn the first anniversary of the 2019 West Papua Uprising. On August 17-18 last year, West Papuan students in the city of Surabaya were barricaded in their dorms by Indonesian security forces and nationalist gangs. The students were subjected to brutal racial abuse, called ‘monkeys’ and ‘dogs’ and told to ‘go home to Papua’. In response, the people of West Papua launched their biggest uprising in twenty years. Hundreds of thousands came out to reject racism and discrimination and to demand a referendum on independence.

As we celebrated World Indigenous Day this month, 30-year-old Indigenous West Papuan Sius Ayemi was arrested by Indonesia for leading Indigenous rallies. This is how Indonesia respects World Indigenous Day – by arresting Indigenous people for celebrating own identity and culture. We demand the immediate release of Sius Ayemi.

We are focused on the continued killing we face at the hands of the Indonesian State. In Nduga and elsewhere, Indonesian military build-ups continue. Killings, torture and discrimination is intensifying: just this month, soldiers from a new military base in Tambrauw village beat local villages for no reason other than the colour of their skin. Indonesia is also diverting Covid-19 funds into military operations.

We are focused on rejecting Jakarta’s new attempts to impose ‘Special Autonomy Volume II’ on us. All of West Papuan civil society has rejected Special Autonomy and any attempt to renew it: the churches, political organisations, ordinary people, even the bodies set up by Jakarta under the Special Autonomy provisions – all reject it. We do not want more fake ‘autonomy’ and we will only intensify our struggle for genuine self-determination, achieved through an internationally-supervised referendum on independence.

Benny Wenda
Chairman
ULMWP


Ketua ULMWP: Jangan rayakan kemerdekaan Indonesia, melainkan ingatlah Perjanjian New York dan serangan-serangan rasis tahun lalu

Minggu ini adalah minggu yang sangat bermakna untuk ingatan kolektif rakyat Papua Barat. Di akhir minggu ini, kami akan memperingati 58 tahun diserahkannya tanah kami kepada Indonesia. Kami juga akan memperingati satu tahun demonstrasi di Papua Barat, yang diawali oleh serangan-serangan rasis dari aparat Indonesia. Tanggal 15-17 Agustus bukanlah saat untuk merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia, melainkan saat untuk merenung dan berkabung untuk semua rakyat Papua Barat.

Pada tanggal 15 Agustus 1962, perundingan rahasia antara pemerintahan Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat menentukan nasib dan masa depan rakyat Papua Barat. Tidak ada satu pun rakyat Papua Barat yang terlibat di dalam perundingan ini, dan referendum yang dijanjikan kepada kami di dalam Perjanjian New York pada tahun 1962 itu tidak pernah terlaksana. Kepada kami, rakyat Papua Barat, Perjanjian New York adalah perjanjian yang ingkar, dan penuh omong kosong.

Ini adalah akar permasalahan penderitaan kami, akar permasalahan yang menyebabkan hilangnya nyawa 500000 rakyat Papua Barat di tangan Indonesia. Seluruh penduduk Papua Barat bersatu bersama-sama menolak Perjanjian New York dan penjajahan ilegal Indonesia atas tanah kami.

Kami akan menunjukkan penolakan kami dengan tidak berpartisipasi dalam perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus. Kami tidak mengakui Hari Kemerdekaan Indonesia di Papua Barat – tanah kami bukan tanah Indonesia, dan hari ini bukan hari kemerdekaan kami. Kami masih menunggu hari kemerdekaan kami yang sesungguhnya, hari di mana kami memperoleh kembali hak untuk menentukan masa depan kami.

Pada hari-hari ini, kami akan tinggal di rumah dan memperingati demonstrasi di Papua Barat pada tahun 2019 yang lalu. Tanggal 17-18 Agustus tahun lalu, mahasiswa Papua Barat di Surabaya dibarikade di dalam asrama mereka oleh aparat keamanan Indonesia dan kelompok preman fasis. Para mahasiswa itu dilontari umpatan-umpatan rasis yang keji, diejek sebagai ‘monyet’ dan ‘anjing,’ dan disuruh untuk pulang ke Papua. Rakyat Papua Barat merespons kejadian ini dengan suatu gerakan protes besar-besaran, bahkan yang paling besar sejak 20 tahun yang lalu. Ratusan ribu orang turun ke jalan untuk menolak rasisme dan diskriminasi, dan menuntut referendum untuk kemerdekaan.

Pada perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia bulan ini, Sius Ayemi, seorang aktivis adat Papua Barat yang berusia 30 tahun, ditangkap oleh aparat Indonesia karena memimpin gerakan demonstrasi masyarakat adat Papua. Ini adalah cara Indonesia merayakan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia – dengan menangkap masyarakat adat yang merayakan budaya dan tradisi mereka. Kami menuntut agar Sius Ayemi secrepatnya dilepas.

Kami terus memperhatikan pembunuhan rakyat Papua Barat di tangan pemerintah Indonesia. Di Nduga dan tempat-tempat lain, tentara Indonesia terus menghimpun kekuatannya. Pembunuhan, penyiksaan dan diskriminasi terus meningkat: pada bulan ini saja, tentara yang berbasis di pangkalan militer baru di desa Tambrauw menganiaya rakyat desa sekitar hanya karena warna kulit mereka. Indonesia juga mengalihkan dana penanggulangan COVID-19 untuk mendukung operasi militer mereka.

Kami juga mengerahkan tenaga kami untuk menolak usaha-usaha dari Jakarta untuk memaksakan ‘Otsus Jilid II’ atas rakyat Papua Barat. Seluruh masyarakat Papua Barat sudah menunjukkan penolakan terhadap segala upaya untuk memperbarui otsus. Gereja-gereja, organisasi-organisasi politik, bahkan badan-badan yang dibentuk oleh Jakarta sebagai bagian dari otsus, semuanya menolak pembaruan otsus. Kami tidak mau ‘otonomi’ yang palsu. Kami akan terus meningkatkan perjuangan kami untuk menentukan nasib sendiri, melalui referendum untuk kemerdekaan yang dipantau dan diawasi oleh dunia internasional.

Benny Wenda
Ketua
ULMWP