[Bahasa version of statement, below.]

Hundreds of thousands of West Papuans are rising up for an independence referendum. The people of West Papua are calling for the UN to be allowed in to West Papua, for the root causes of the crisis in West Papua to be addressed through an internationally-supervised referendum on independence. This is what the events of the past three weeks are about.

General Wiranto and other leading Indonesian officials are trying to turn this into a personal issue, accusing me of ‘masterminding’ the demonstrations. I do not care what Wiranto, who is wanted by the UN for crimes against humanity in East Timor, has to say about me. He must address the real issue, which is the need for a peaceful transition to independence in West Papua to restore peace, stability and freedom for my people.

Rather than address our cry for freedom, the Indonesian government prefers to launch propaganda to divert attention. Rather than uphold our right to self-determination, Wiranto is forming militia groups, trying to turn Indonesian settlers in West Papua against us – just as he did in East Timor. Rather than allow us to express ourselves, the Indonesian occupation force murders six of us in Deiyai.

We West Papuans have no problem with Indonesia settlers in West Papua. We want to live in harmony and peace with them in a free independent West Papua. It is the Indonesian state that is trying to foster conflict through arming Indonesian settlers and directing nationalist militias. It is the Indonesian nationalist groups which called us ‘monkeys’ and ‘pigs’ in Surabaya. These are the ‘escalations’ and ‘provocations’ which began the recent events.

I say to the Indonesian citizens in West Papua: you are the eye witnesses of the injustices being carried out by the Indonesian government against my people. Listen to why we are demonstrating. Do not listen to orders from the Indonesian military or police to form gangs and militias against us. Support our peaceful demands for a democratic referendum on independence.

Indonesia is illegally occupying West Papua, not the other way around. 500,000 men, women and children have died under the Indonesian occupation. For 57 years we have been struggling for our right to self-determination, our right to determine our own destiny.

That is all we ask for: a free and democratic referendum, supervised by the international community. If Wiranto is so sure I am telling lies and he is telling the truth, let us put it to the people of West Papua and see what they choose.

Under the 1962 New York Agreement, the people of West Papua were promised a referendum on independence, including ‘the eligibility of all adults […] to participate in the act of self-determination to be carried out in accordance with international practice’. This means one-person, one-vote.

Did West Papuans get this referendum, promised to them in the New York Agreement? No. The Indonesian military hand-picked 1,022 Papuans, including my father, and forced them at gun-point to agree to the Indonesian occupation. Every observer, from international journalists to diplomats, legal scholars to Papuan witnesses, has recorded that the 1969 Act of No Choice was fraudulent and undemocratic. It was, as the then-UN Under-Secretary General would later say, a ‘whitewash’. Even Infantry Colonel Soemarto, the Indonesian Commander in Merauke, admitted that, “[Indonesia] must be absolutely sure to win this referendum, carried out with methods that are both ordinary and unusual’.

The UN did not support the Act of No Choice. Under Resolution 2504 (XXIV), the UN General Assembly only ‘took note’ of the result, with strong opposition from newly-independent African and Carribean countries. The final report of the UN Secretary-General himself recorded that, ‘the [Indonesian] Administration exercised at all times a tight political control over the [Papuan] population’.

So legally and politically, West Papua still has the right to self-determination under international law, in accordance with the 1960 Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples. That right has never been exercised.

This is the root cause of what is happening in West Papua now. For 57 years we have been peacefully struggling for our right to self-determination, for a referendum.

Indonesia must release Bazoka Logo, head of the ULMWP’s Political Bureau, detained since August 15, Surya Anta, spokesperson of the Indonesian People’s Front for West Papua (FRI-WP), arrested in Jakarta at the beginning of the month, and all Papuans who have been arrested over the past few weeks. Veronica Koman, an Indonesian human rights lawyer who has spoken out for West Papua, is now being hunted internationally by the Indonesian state because of her Twitter account.

The Pacific Islands Forum, UN High Commissioner for Human Rights, PNG government and others are sounding the alarm over what is happening now. The situation in West Papua is very similar to the history of South Africa in the 20th century. We are oppressed, discriminated against, and killed – and the world is starting to see it now. Rather than turning this into petty personal politics, Wiranto and Widodo must call a referendum on independence now.

Benny Wenda
Chairman
United Liberation Movement for West Papua


Ketua ULMWP Menyerukan Wiranto dan Joko Widodo Untuk Menyelenggarakan Referendum, Menghentikan Serangan Pribadi

Ratusan ribu rakyat Papua Barat bergerak untuk referendum mengenai kemerdekaan. Rakyat Papua Barat menuntut agar PBB diperbolehkan masuk ke Papua Barat, dan agar akar dari permasalahan di Papua Barat dapat diselesaikan mengenai referendum kemerdekaan yang diawasi oleh pihak internasional. Ini adalah fakta yang disuarakan oleh kejadian-kejadian selama tiga minggu terakhir

Jendral Wiranto dan petinggi Indonesia lainnya berusaha menjadikan ini sebagai masalah pribadi dan menuduh saya ‘mendalangi’ demonstrasi-demonstrasi yang terjadi. Saya tidak peduli apa yang dikatakan oleh Wiranto, yang dicari oleh PBB karena kejahatan kemanusiaan di Timor Leste, mengenai saya. Dia harus mengatasi masalah sesungguhnya, yakni perlunya peralihan menuju kemerdekaan yang damai di Papua Barat untuk mengembalikan perdamaian, stabilitas dan kebebasan untuk rakyat saya.

Daripada memberikan tanggapan yang berarti kepada teriakan kami untuk merdeka, pemerintahan Indonesia lebih memilih untuk mengedarkan propaganda demi mengalihkan perhatian. Daripada menjamin hak kami untuk menentukan nasib sendiri, Wiranto malah membentuk kelompok milisi dan ormas, dan berusaha mengadudomba pendatang dari Indonesia di Papua Barat agar melawan kami, persis seperti yang dia lakukan di Timor Leste. Daripada menjamin hak berekspresi kami, pasukan pendudukan Indonesia malah membunuh enam rakyat kami di Deiyai.

Kami, rakyat Papua Barat, tidak mempunyai permasalahan dengan para pendatang dari Indonesia di Papua Barat. Kami ingin hidup dalam perdamaian dan keharmonisan bersama dengan mereka di Papua Barat yang bebas dan merdeka. Pemerintahan Indonesialah yang berusaha menyulut konflik dengan mempersenjatai pendatang dari Indonesia dan mengarahkan milisi-milisi nasionalis. Ormas-ormas nasionalis Indonesialah yang memaki kami dengan kata-kata ‘monyet’ dan ‘babi’ di Surabaya. Inilah ‘eskalasi’ dan ‘provokasi’ yang mengawali kejadian-kejadian minggu-minggu terakhir ini.
Saya berkata kepada warga negara Indonesia di Papua Barat: kalianlah saksi mata ketidakadilan-ketidakadilan yang dilakukan pemerintah Indonesia kepada rakyat saya. Dengarkanlah alasan kami berdemonstrasi. Jangan dengarkan perintah dari militer dan polisi Indonesia untuk membentuk milisi untuk melawan kami. Dukunglah tuntutan kami yang damai untuk referendum kemerdekaan yang demokratis.

Indonesia sedang menduduki Papua Barat secara ilegal, bukan sebaliknya. 500,000 laki-laki, perempuan dan anak-anak sudah mati di bawah pendudukan Indonesia. Sudah 57 tahun lamanya kami berjuang untuk hak kami untuk menentukan pendapat sendiri, menentukan takdir sendiri.

Inilah yang kami minta: referendum yang bebas dan demokratis yang diawasi oleh komunitas internasional. Bila Wiranto begitu yakin bahwa dia benar dan saya berbohong, mari kita beri kesempatan kepada warga Papua Barat untuk membuktikannya, dan lihat apa yang mereka pilih.

Salah satu syarat Perjanjian New York tahun 1962 adalah bahwa rakyat Papua Barat dijanjikan referendum kemerdekaan yang ‘boleh diikuti semua orang berusia dewasa… untuk ikut serta dalam penentuan nasib sendiri, yang akan dilakukan sesuai dengan standar dan praktek internasional.’ Ini berarti: satu orang, satu suara.

Apakah rakyat Papua Barat mendapatkan referendum yang dijanjikan kepada mereka oleh Perjanjian New York ini? Tidak. Militer Indonesia memilih sendiri 1,022 orang Papua, termasuk ayah saya, dan memaksa mereka di ujung bedil untuk menyetujui pendudukan Indonesia. Semua pengamat, termasuk jurnalis internasional, diplomat-diplomat, ahli-ahli hukum dan saksi-saksi Papua, mengatakan bahwa ‘Act of No Choice’ tahun 1969 adalah sebuah penipuan yang tidak demokratis sama sekali. Di kemudian hari, Wakil Sekretaris Jenderal PBB saat itu akan menyebutnya sebagai sebuah ‘whitewash.’ Bahkan, Kolonel Infanteri Soemarto, Komandan Indonesia di Merauke, mengakui bahwa ‘[Indonesia] harus yakin sepenuhnya kan memenangkan referendum, yang diperoleh dengan cara-cara yang normal dan aneh pada saat yang sama.’

PBB sendiri tidak mendukung ‘Act of No Choice.’ Di dalam Resolusi 2504 (XXIV), Sidang Umum PBB hanya ‘mencatat’ hasil tersebut, dengan perlawanan keras dari negara-negara Afrika dan Karibia yang baru merdeka. Laporan akhir dari Sekretaris Jenderal PBB sendiri mengatakan bahwa ‘Administrasi [Indonesia] pada setiap waktu memakai kontrol-kontrol politik yang kuat terhadap populasi [Papua].’

Jadi, secara legal dan politik, Papua Barat masih memiliki hak untuk menentukan pendapat sendiri di bawah hukum internasional, sesuai dengan Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples tahun 1960. Hak ini belum pernah dipakai.

Ini adalah akar permasalahan Papua Barat pada saat ini. Selama 57 tahun kami sudah berjuang secara damai untuk hak kami menentukan pendapat sendiri melalui referendum.

Indonesia harus membebaskan Bazoka Logo, ketua Urusan Politik ULMWP yang ditahan sejak 15 Agustus. Surya Anta, juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk Papua Barat ditangkap di Jakarta di awal bulan ini, dan semua orang Papua yang ditangkap selama beberapa minggu terakhir juga harus dibebaskan. Veronica Koman, seorang pengacara HAM Indonesia yang angkat bicara soal Papua Barat, sekarang sedang diburu di mancanegara oleh pemerintah Indonesia karena akun Twitternya.

Pacific Islands Forum, Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, pemerintah Papua Nugini dan banyak lainnya sudah menyalakan tanda bahaya mengenai apa yang terjadi sekarang. Situasi di Papua Barat sangat mirip dengan sejarah Afrika Selatan selama abad ke-20. Kami dijajah, didiskriminasikan dan dibunuh – dan akhirnya, dunia mulai melihat fakta ini. Daripada mengubah ini menjadi politik picik pribadi yang remeh-temeh, Wiranto dan Joko Widodo harus menyelenggarakan referendum sekarang juga.

Benny Wenda
Ketua ULMWP